Gulai itiak
Bagaimanakah rasa gulai bebek muda yang direndam dalam kuah penuh
cabai hijau? Huh…! Rasa gurih-pedasnya sulit terlupakan. Sensasi yang
agak ekstrem itu menyergap lidah saat kami menyantap bebek muda cabai
hijau. Itulah menu andalan Rumah Makan Gulai Itiak Lado Mudo di Ngarai
Sianok, Bukittinggi, Sumatera Barat. Lokasi warung bersahaja tersebut
berada di Jalan Ngarai-Binuang, persis di bawah ngarai yang indah itu.
Saat
kami berkunjung, awal Mei lalu, ada sejumlah tamu sedang makan. Sambil
mengunyah daging bebek yang empuk, tubuh mereka berkeringat karena
kepedasan.
”Pedasnya tajam. Tapi, enak karena bercampur gurih,”
kata Faisal, seorang pengunjung dari Jakarta, seraya menyeka keringat di
dahinya.
Sambil terus berdecap-decap, mulut pemuda itu juga
mendesis-desis terkena ”tendangan” cabai hijau. Tapi, dia malah
menyendok nasi lagi. ”Kalau sudah mulai makan, seperti sulit berhenti,”
katanya.
Gulai itiak lado mudo adalah gulai daging bebek muda yang
dilumuri cacahan cabai hijau. Saking banyaknya porsi cabai, seolah
daging bebek muda itu ”berendam” dalam cabai.
”Ini tradisi masakan
Koto Gadang, Kabupaten Agam. Tapi, kami buat lebih pedas lagi dan tidak
pakai santan,” kata Nur’aini (66), pemilik warung.
Pengembangan
itu tak main-main. Bayangkan saja, setiap satu ekor bebek dimasak
bersama sekitar 0,5 kilogram (5 ons) cabai hijau kering. Jika setiap
satu ekor bebek dipotong jadi empat porsi, setiap satu potongnya dimasak
bersama 1,25 ons cabai. ”Biar rasanya beda dengan masakan bebek lain.
Ini juga cocok untuk menghangatkan badan di Bukittinggi yang udaranya
dingin,” kata Nur’aini.
Kata Nur’aini, pedas cabai itu hanya
sebatas memanaskan bibir saja. Itu berbeda dengan pedas dari merica yang
bisa bikin panas kerongkongan. Untuk meredam pedas, gulai bebek itu
disajikan bersama potongan mentimun dan cacahan bawang merah. Setelah
mengunyah mentimun dan bawang, pedasnya memang agak berkurang.
Bebek muda
Nur’aini
bercerita, gulai yang enak berawal dari ketepatan memilih bebek muda.
Dia selalu memilih bebek berumur sekitar enam bulan yang dagingnya masih
empuk. Bebek dipotong, direndam air panas, kemudian bulu-bulunya
dicabuti. Isi perutnya juga dikeluarkan. Untuk menghilangkan sisa bulu,
bebek itu dibakar. Bebek yang telah bersih dipotong-potong. Satu ekor
bebek bisa dipotong menjadi empat bagian.
Saat bersamaan,
disiapkan juga racikan bumbu yang telah dihaluskan: bawang merah, bawang
putih, kunyit, dan lengkuas. Tentu saja, ditambah cabai hijau kering
dengan takaran setiap satu ekor bebek diberi 0,5 kg cabai.
Daging
bebek tadi digodok bersama bumbu dan cabai. Gulai ini tidak menggunakan
santan agar rasa daging lebih segar. Daging bebek tadi digodok selama
satu hari satu malam atau 48 jam penuh. ”Itu biar pedas cabai meresap
sampai dalam serat daging. Daging juga lebih empuk dan tidak amis lagi,”
katanya.
Sepotong daging bebek dijual Rp 20.000, sedangkan satu
porsi bebek utuh berharga Rp 90.000. Setiap hari warung itu rata-rata
menghabiskan sekitar 40 ekor bebek dan 20 kilogram cabai. Pada masa
liburan, 75 sampai 100 ekor bebek dan 50 kilogram cabai ludes setiap
harinya. Manstab!
Warung Gulai Itiak Lado Mudo di Ngarai Sianok,
Bukittinggi, Sumatera Barat, berawal dari sebuah pondok bambu yang
didirikan pasangan Nur’aini dan Anwar. Saat pertama dibuka tahun 1968,
jualannya hanya pecel lontong. ”Kami mulai dari nol. Ngarai Sianok tahun
1960-an masih sepi, belum ada banyak warung,” kata Nur’aini (66).
Suatu
ketika di era 1980-an, para pelanggan meminta Nur’aini untuk menjual
nasi dengan lauk-pauknya. Perempuan itu pun berpikir tentang menu yang
belum banyak ditawarkan di daerah tersebut. Dia teringat pada tradisi di
kampung halamannya di Koto Gadang, Kabupaten Agam. Setiap hajatan
besar, masyarakat di sana biasa memasak gulai bebek dengan cabai hijau
yang banyak.
”Kami coba buat gulai bebek tradisional khas Koto
Gadang, tetapi dengan sedikit perubahan. Agar pedasnya lebih tajam,
cabainya diperbanyak,” katanya.
Menu baru itu tak hanya dijajakan
di warung, tetapi juga ditawarkan langsung kepada pelanggan. Suaminya,
Anwar (78), sering menjajakannya dari pintu ke pintu. Pada hari Minggu,
beberapa anaknya juga ikut membantu mengantar ke rumah-rumah.
”Promosinya dari mulut ke mulut,” kata Ikhlas (36), anak Nur’aini.
Ternyata,
menu gulai itiak itu berkenan di lidah pelanggan. Tahun 1990-an,
pelanggannya kian bertambah. Gulai bebek pedas itu mulai digemari karena
jarang ditemukan di tempat lain. Tahun 2000-an, warung itu makin
dikenal, terutama setelah kisahnya muncul pada acara kuliner di layar
televisi.
Kini, warung itu dikelola dengan manajemen lebih modern
oleh anak perempuan Nur’aini, Warnita (34). Namun, menu dan resep
pembuatan gulai bebek cabai hijau tetap mempertahankan racikan hasil
utak-atik Nur’aini sejak tahun 1980-an. ”Kami meneruskan apa yang
dirintis ibu,” kata Warnita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar